Nabi kita lahir dalam keadaan yatim, apa hikmahnya?
Kita tahu orang tua Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘Abdullah dan Aminah. ‘Abdullah bin ‘Abdul Muthallib menikah dengan Aminah binti Wahab dari kabilah Zuhrah, kemudian pergi ke Syam (Gazzah, jalur Gaza) bersama dengan kafilah perdagangan Quraisy.
Sepulang dari perdagangan, mereka mampir ke Madinah, ‘Abdullah mampir di rumah saudara dari ibunya dari kabilah An-Najjar karena mengeluh sakit. Dia menginap karena sakit beberapa lamanya, kemudian akhirnya meninggal dan dikuburkan di Madinah. Pada waktu itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih dalam kandungan, umur ‘Abdullah pada waktu itu adalah 25 tahun. Berarti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lahir dalam keadaan yatim. Yang dimaksud yatim adalah ditinggal mati oleh ayah sebelum baligh. Penyebutan yatimnya beliau inilah yang disebutkan dalam ayat,
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim lalu Dia melindungimu?” (QS. Adh-Dhuha: 6)
Beberapa pelajaran yang bisa diambil dari keadaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lahir dalam keadaan yatim:
1- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan setelah ayahnya meninggal. Ini adalah cobaan terberat pada seorang anak.
2- Dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah meneruskan jejak ayahnya karena ketika beliau lahir, ‘Abdullah sudah meninggal dunia. Inilah salah satu hikmah kenapa Nabi Muhammad ditakdirkan lahir dalam keadaan yatim.
3- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dalam keadaan yatim menjadikan beliau lebih respon dengan nilai-nilai kemanusiaan karena orang yang telah merasakan berbeda jauh dengan yang belum pernah melalui masa itu. Anak orang kaya bagaimana pun respon sosialnya tidak akan bisa merasakan perihnya kemiskinan.
4- Kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam usia balita bersama ibunya tanpa ditemani ayahnya menunjukkan peran seorang ibu dalam mendidik anak. Lihat para Nabi yang hidup bersama ibunya seperti Nabi Ismail, Nabi Musa, dan Nabi Isa bin Maryam.
5- Allah Ta’ala menakdirkan Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai anak yatim hingga peranan kasih sayang ayah tidak mempengaruhi tarbiyahnya, tetapi langsung diambil alih oleh Allah, sebagaimana dinyatakan Allah kepada Musa ‘alaihis salam,
وَاصْطَنَعْتُكَ لِنَفْسِي
“Dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku.” (QS. Thaha: 41)
6- Ada juga pelajaran penting, beliau dilahirkan dalam keadaan yatim agar bisa menghibur anak yatim lainnya di setiap zaman dan tempat, bahwa menjadi yatim bukanlah musibah. Lihat As-Sirah An-Nabawiyah, hlm. 93.
Keutamaan Menyantuni Anak Yatim
Dari Ummu Said binti Murrah Al Fihri, dari ayahnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
أَنَا وَكاَفِلُ الْيَتِيْمِ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ، أَوْ كَهَذِهِ مِنْ هَذِهِ -شَكَّ سُفْيَانُ فِي الْوُسْطَى أَوِ الَّتِيْ يَلِيْ الإِبْهَامُ
“Kedudukanku dan orang yang mengasuh anak yatim di surga seperti kedua jari ini atau bagaikan ini dan ini.” [Salah seorang perawi Sufyan ragu apakah nabi merapatkan jari tengah dengan jari telunjuk atau jari telunjuk dengan ibu jari]. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 133, shahih) Lihat As Silsilah Ash Shahihah (800)
Dari Sahl ibnu Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
أَنَا وَكاَفِلُ الْيَتِيْمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا” وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
“Kedudukanku dan orang yang menanggung anak yatim di surga bagaikan ini.” [Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya]. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 135, shahih) Lihat As Silsilah Ash Shahihah (800): [Bukhari: Kitab Al Adab, 24-Bab Fadhlu Man Ya’ulu Yatiman]
Semoga bahasan ini menjadi pelajaran berharga.
Referensi:
As-Sirah An-Nabawiyah fii Dhau’ Al-Mashadhir Al-Ashliyyah. Cetakan ketiga, tahun 1424 H. Prof. Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad. Penerbit Dar Zidniy.
Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah.
—-
Disusun @ Concordia, Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, 10 Syawal 1438 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com